The Lady

Film, Ideologi, dan Tirani


Ada banyak pandangan yang lahir terkait definisi film bahkan memperdebatkan lahirnya film. Bagi Irawanto, film merupakan refleksi dari realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, merangkum pluralitas nilai dari berbagi dinamika struktur sosial, politik, dan budaya (1999 : 14). Film sebagai refleksi dari realitas dalam proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat tampaknya menjadi perspektif yang lebih umum dari para teoritikus film, Garth Jowett misalnya. Garth Jowett menyatakan bahwa media massa merefleksikan masyarakat karena didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatnya akan menjamin kemungkinan capaian audiens yang lebih luas (Jowett dalam Irawanto, 1999 : 13). Gagasan Jowett ini sejalan dengan gagasan McLean yang menyebutkan film itu bagian televisuality yang menggabungkan intervensi ekonomi, sejarah, realitas, dan fiksi (1998 : 4).

Akan tetapi, lain halnya dengan Graeme Turner yang menyebutkan bahwa definisi film sebatas refleksi merupakan perspektif yang sangat primitif dan mengandung metaphor yang kurang memuaskan karena menyederhanakan proses representase dalam komposisi komunikasi. Karena itulah, Turner dalam definisinya, menyebutkan film sebagai medium representase yang mengkonstruksi dan menghadirkan kembali gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, ideologi dari kebudayaannya (1991: 14). Taylor Caldwell dalam McLean (1998 : 4) menekankan bahwa film tidak hanya lahir sebagai nilai-nilai estetika dan sejarah, melainkan jati diri dan fantasi.

Detail

ISBN

978-979-530-244-5

Halaman

ix + 97

Cetakan

Pertama

Penerbit

Unhas Press

Bahasa

Indonesia

Tanggal Terbit

Januari, 2020

Tentang

Nurul Ichsani

Nurul Ichsani

Terangkat menjadi staf Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Unhas sejak tahun 2015. Bidang keilmuan, pengajaran, dan penelitiannya mencakup studi film dan media baru. sebelum bekerja di Universitas Hasanuddin, ia menghabiskan sebagian besar waktunya pada media dan film di mana ia menjalin kolaborasi dengan institut kebudayaan nasional dan internasional. Saat ini, ia mengkoordinir aktivitas pada lab film dan fotografi, dan menjadi pengelola jurnal. pada tahun 2016, ia bergabung di Kantor Urusan Internasional sebagai staf media and public relations. Selain itu, ia memiliki pengalaman selama lima tahun menjadi interpreter untuk Nexleaf Analytics, Canadian International Development Agency, Singhealth, Agriterra, dan Deloitte Consulting Southeast Asia.

Karya ini adalah karya buku pertama yang saya lahirkan dari tugas akhir saya di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin. Skripsi saya berjudul The Lady; Antara Tirani, Demokrasi, dan Perempuan kemudian saya elaborasi agar bahasa dan pembahasannya dapat diterima lebih luas.

Sejak awal, saya telah jatuh hati pada film yang saya yakini sebagai alat komunikasi yang sangat kaya akan bahasa dengan mengkombinasikan dua realitas bahasa atau dua unsur makna yaitu kata dan bukan kata. Makna berupa kata mencakup bahasa verbal atau teks, sedangkan makna bukan kata mencakup suprabahasa atau bahasa bukan verbal yaitu gambar, bunyi, musik, dan ekspresi visual.

Penggunaan bahasa verbal (teks) dan bahasa bukan verbal secara kombinatif mengisyaratkan bahwa terdapat sejumlah realitas yang tidak memadai bila hanya diekspresikan dengan bahasa verbal atau hanya dengan bahasa bukan verbal. Karena itu lah, film lahir sebagai sebuah gagasan besar untuk menciptakan komunikasi dengan melakukan kombinasi dua realitas bahasa yang berinteraksi secara simultan. Karena film mengandung kombinasi kedua unsur makna tersebut, film membutuhkan pisau ilmu untuk mengkaji tanda- tanda bahasa atau lambang-lambang makna di dalamnya.

Semiotika sebagai ilmu lambang yang berakar dari ilmu bahasa (semantik) memandang bahwa manusia dapat menelusuri makna dari komunikasi yang sedang berlangsung melalui sistem tanda yaitu hubungan antar tanda dengan acuannya. Hubungan dalam sistem tanda inilah yang kemudian menjadi objek kajian semiotika.

Sebagai sebuah ilmu menalar, semiotika memberi ruang yang lebih besar dalam mengkaji makna karena semiotika menyediakan ruang psikologi dan sosial. Karena itu, pengetahuan tentang tanda-tanda yang telah disepakati secara kontekstual merupakan syarat mutlak dalam mengkaji makna dari sistem tanda.

Sistem tanda yang sangat kompleks bisa ditemukan pada film yang merupakan cerminan sekaligus kreasi budaya yang merepresentase bentuk realitas di masyarakat. Karena itu, dalam perkembangannya, film tidak lagi dimaknai sebagai karya seni semata, akan tetapi lebih sebagai praktik sosial—kombinasi antara realitas dan rekonstruksi.

Sebuah film biografi misalnya. Film biografi adalah film yang penggarapannya didasarkan atas prinsip objektivitas yang subjektif. Objektivitas film biografi terletak pada penggrapannya yang bersandar pada fakta-fakta terkait kehidupan seseorang. Akan tetapi, subjektivitas penggarapnya tidak bisa dilepaskan begitu saja mengingat sang penggarap juga bereaksi dan memaknai seluruh ragam bahasa baik verbal maupun bukan verbal yang melingkar dalam konteks di mana kisah itu berasal.

Dengan menajamkan emotional iconic/symbolic/ indexical figure yang menyentuh, sebuah film biografi mampu mengajarkan ilmu, menginspirasi, memotivasi dan menggerakkan perubahan. Inilah yang kemudian menjadi fondasi tujuan dramatisasi film biografi, sebuah film yang meletakkan kisah kehidupan seseorang di hadapan dunia.

Faktanya, ada banyak film biografi yang pernah diproduksi di antaranya The Iron Lady, A Rustling of Leaves: Inside The Philippine Revolution, Bhutto, dan The Lady. Keempat film tersebut dibangun dengan mengkonvensionalisasikan serangkaian tanda yang mewakili kisah kehidupan tokoh pemimpin perempuan yang mengandung detail nilai-nilai moral yang diinterpretasi oleh film maker dan menginspirasi orang-orang melalui kisah kehidupan dan perjuangan para tokoh.

Tahun 2011, film The Lady hadir sebagai film yang secara komprehensif menjabarkan kisah historis Aung San Suu Kyi, tokoh politik perempuan di Burma, putri Jenderal Burma, Aung San. Luc Besson sebagai sutradara dan Brenda Frayn sebagai penulis film The Lady telah menunjukkan “still-dire human rights situation” di Burma dan menginspirasi dunia untuk terus berjuang dalam memimpikan perubahan besar. Hal nilah yang kemudian yang membangunkan orang- orang pada tataran emosional untuk menggerakkan perubahan.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “The Lady”

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *